“Buku yang Hilang”
Di rak kayu itu, bertahun-tahun ia simpan sebuah buku lusuh. Bukan sembarang buku, melainkan saksi bisu perjalanannya—halaman-halamannya dipenuhi tanda tangan orang-orang besar yang pernah ia temui. Nama-nama yang dulu menjadi lentera, tanda bahwa ia pernah dianggap hadir di lingkaran penting.
Suatu hari, tanpa sengaja, buku itu berpindah tangan. Awalnya ia tidak menyadari, sampai kemudian rak kayunya terasa kosong. Hatinya tercekat, seperti kehilangan sebuah bagian dari dirinya. Bagaimana mungkin ia menuliskan bab baru hidupnya, jika bukti masa lalu saja raib begitu saja?
Namun setelah beberapa hari, kegelisahan itu berubah menjadi renungan. Mungkin memang sudah saatnya ia belajar berjalan tanpa menggenggam nama-nama itu. Bukankah tanda tangan sejati yang perlu ia torehkan adalah karyanya sendiri, di lembar kehidupan?
Buku itu hilang. Tapi justru dari kehilangan itu ia menemukan sesuatu: keberanian untuk tak lagi berdiri di bayang-bayang orang lain. Kini ia menulis dengan tangannya sendiri, membangun namanya sendiri, tanpa perlu tanda tangan siapa pun.