Pengajian Gus Mus di Tegalsari Jomblangan Banguntapan Bantul, 11 Maret 2016.....
Menguatkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Oleh: KH. A. Mustofa Bisri, Rais Aam PBNU 2014-2015, Pengasuh Pesantren Raudlatut Talibin, Leteh Rembang.
Oleh: KH. A. Mustofa Bisri, Rais Aam PBNU 2014-2015, Pengasuh Pesantren Raudlatut Talibin, Leteh Rembang.
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabaratuh...
Yang saya hormati, para alim ulama, sesepuh pini sepuh.
Yang saya hormati, Wakil Bupati dan jajaran di bawahnya.
Yang saya hormati, takmir Masjid An-Noer...
Hadirin, bapak ibu yang berbahagia.
Temanya ngaji ini menguatkan amar ma’ruf nahi munkar. Pengajian kok ya pakai tema... (hadirin langsung tertawa). Saya biasanya ngaji itu gak pakai tema. Ya langsung mauludan, rajaban, dan lainnya. Saya kira bukan hanya masalah ini yang perlu dikaji ulang. Sebelumnya Jokowi mengeluarkan statement, kita perlu revolusi mental. Jauh sebelum ide ini, ketika reformasi saat itu, saya sudah menulis di media. Kira-kira saat itu sudah saya tulis bahwa Indonesia kalau kepalanya tidak dicopot di ganti kepala yang baru, insya Allah sampai kiamat kurang dua hari Indonesia masih seperti ini terus. Ya, Jokowi itu kira-kira niru saya, hehehe (jama’ah tertawa seru).... Yang saya maksud itu sekarang namanya revolusi mental.
Kita ini kadang-kadang sibuk tapi nggak jelas sibuk apa. Sampai tidak punya waktu untuk revolusi diri. Saya sampai-sampai buat puisi satu baris. Terkenal sampai Presiden keempat, Gus Dur, senangnya luar biasa, dimana mana terus dibaca. Judul dan isi puisi hampir sama, sama pendeknya. Isinya cuma begini: “TUHAN, KAMI SANGAT SIBUK”.
Ndak jelas sibuknya apa, yang jelas sampai tidak pernah sholat kepada Allah SWT. Ngomong sama Allah, “Gusti, saya ini sibuk. Saya tidak sempat shalat. Ya pantes Gusti, karena saya sibuk.” Tapi sibuknya ya nggak jelas.
Yang saya hormati, para alim ulama, sesepuh pini sepuh.
Yang saya hormati, Wakil Bupati dan jajaran di bawahnya.
Yang saya hormati, takmir Masjid An-Noer...
Hadirin, bapak ibu yang berbahagia.
Temanya ngaji ini menguatkan amar ma’ruf nahi munkar. Pengajian kok ya pakai tema... (hadirin langsung tertawa). Saya biasanya ngaji itu gak pakai tema. Ya langsung mauludan, rajaban, dan lainnya. Saya kira bukan hanya masalah ini yang perlu dikaji ulang. Sebelumnya Jokowi mengeluarkan statement, kita perlu revolusi mental. Jauh sebelum ide ini, ketika reformasi saat itu, saya sudah menulis di media. Kira-kira saat itu sudah saya tulis bahwa Indonesia kalau kepalanya tidak dicopot di ganti kepala yang baru, insya Allah sampai kiamat kurang dua hari Indonesia masih seperti ini terus. Ya, Jokowi itu kira-kira niru saya, hehehe (jama’ah tertawa seru).... Yang saya maksud itu sekarang namanya revolusi mental.
Kita ini kadang-kadang sibuk tapi nggak jelas sibuk apa. Sampai tidak punya waktu untuk revolusi diri. Saya sampai-sampai buat puisi satu baris. Terkenal sampai Presiden keempat, Gus Dur, senangnya luar biasa, dimana mana terus dibaca. Judul dan isi puisi hampir sama, sama pendeknya. Isinya cuma begini: “TUHAN, KAMI SANGAT SIBUK”.
Ndak jelas sibuknya apa, yang jelas sampai tidak pernah sholat kepada Allah SWT. Ngomong sama Allah, “Gusti, saya ini sibuk. Saya tidak sempat shalat. Ya pantes Gusti, karena saya sibuk.” Tapi sibuknya ya nggak jelas.
Meninjau Ulang
Konsep-konsep kita itu perlu ditinjau dan dilihat kembali. Kita selama ini melihat Allah itu apa, punya Allah kok tidak pernah dipikir. Sampean bicara Allahu Akbar, itu yang dipikirkan siapa? Allahu Akbar itu maksudnya apa? Konsep kita kepada Allah perlu kita kaji ulang. Selama ini sudah benarkah kita memandang Allah itu? Konsep kita tentang manusia, sudah benarkah pandangan kita tentang manusia selama ini? Konsep kita tentang Islam, apa itu Islam, Islam itu satu apa banyak, kalau satu kenapa partainya banyak, organisasinya banyak, MIKIRRR!!!!
Konsep kita tentang persaudaraan, konsep kita tentang dunia, perlu kita kaji ulang. Konsep kita tentang ibadah, nanti sampai akhirnya konsep tentang amar ma’ruf nahi munkar. Konsep kita tentang dakwah.
Allah itu satu atau banyak. Kalau satu, kenapa pikiran sampeyan tentang Gusti Allah kok tidak satu? Ada yang kesana kemari, ada yang begini begitu. Allah itu kata kita besar, besarnya seberapa? Ngertos njenengan? Sampean kalau sholat mengucap Allahu Akbar, di dalam hatinya ada siapa? Jangan-jangan malah ada tukang bubur naik haji..hahaha (jamaah tertawa seru). Makna Allahu Akbar, maha itu seberapa. Mahasiswa itu juga maha, akbar ada pengajian akbar. Kalau sampeyan belum bisa memaknai Allahu Akbar, ndak ngerti Allah itu seberapa besarnya, sampeyan balik maknanya. Allahu Akbar itu artinya “saya kecil sekali. Sampeyan bisa mengecilkan badan? Wakil bupati bisa mengecilkan dirinya? Susah. Lha, Wakil Bupati saja munduk-munduk sama saya.
Lha terus bagaimana, mengagungkan Allah tidak bisa, mengecilkan diri kita juga tidak bisa. Repot sendiri kita. Kita ini jarang berpikir itu gara-gara Pak Harto. Semoga dilapangkan kuburnya. Dulu itu apa-apa yang mikir Pak Harto semua. Nanam padi Pak Harto yang mikir. jual cengkeh di tempat Tomi saja, jangan ke yang lain. Sampai-sampai warna cat tembok rumah kita itu Pak Harto yang mikir. Cat kuning saja jangan yang lain. Lho itu...hahaha.
Akhirnya kita ini terus malas mikir, punya Allah kok tidak dipikir. Besarnya seberapa, cuma bilang Allahu Akbar, Allahu Akbar disamakan sama pengajian akbar. Kalau cuma pengajian akbar saja segini (sambil menunjuk ribuan jamaah). Lha, terus Allah itu seberapa.
Kalau kita cari di internet, itu ada gambarnya sampeyan sama bumi sampeyan. Jadi enak kalau diputar di android, bisa jelas kecilnya sampeyan itu sangat kelihatan. Dulu sebelum ada gambar bumi dan alam semesta itu saya itu ngarang sendiri. Kalau lihat besarnya bulan, matahari, satelit, kalau digambar alam semesta ini kira-kira bumi kita ini seperti biji kacang hijau. Tapi setelah ada gambar di internet yang jelas seperti itu, bumi, matahari dan yang lainnya ternyata lebih kecil dari pada kacang hijau.
Konsep-konsep kita itu perlu ditinjau dan dilihat kembali. Kita selama ini melihat Allah itu apa, punya Allah kok tidak pernah dipikir. Sampean bicara Allahu Akbar, itu yang dipikirkan siapa? Allahu Akbar itu maksudnya apa? Konsep kita kepada Allah perlu kita kaji ulang. Selama ini sudah benarkah kita memandang Allah itu? Konsep kita tentang manusia, sudah benarkah pandangan kita tentang manusia selama ini? Konsep kita tentang Islam, apa itu Islam, Islam itu satu apa banyak, kalau satu kenapa partainya banyak, organisasinya banyak, MIKIRRR!!!!
Konsep kita tentang persaudaraan, konsep kita tentang dunia, perlu kita kaji ulang. Konsep kita tentang ibadah, nanti sampai akhirnya konsep tentang amar ma’ruf nahi munkar. Konsep kita tentang dakwah.
Allah itu satu atau banyak. Kalau satu, kenapa pikiran sampeyan tentang Gusti Allah kok tidak satu? Ada yang kesana kemari, ada yang begini begitu. Allah itu kata kita besar, besarnya seberapa? Ngertos njenengan? Sampean kalau sholat mengucap Allahu Akbar, di dalam hatinya ada siapa? Jangan-jangan malah ada tukang bubur naik haji..hahaha (jamaah tertawa seru). Makna Allahu Akbar, maha itu seberapa. Mahasiswa itu juga maha, akbar ada pengajian akbar. Kalau sampeyan belum bisa memaknai Allahu Akbar, ndak ngerti Allah itu seberapa besarnya, sampeyan balik maknanya. Allahu Akbar itu artinya “saya kecil sekali. Sampeyan bisa mengecilkan badan? Wakil bupati bisa mengecilkan dirinya? Susah. Lha, Wakil Bupati saja munduk-munduk sama saya.
Lha terus bagaimana, mengagungkan Allah tidak bisa, mengecilkan diri kita juga tidak bisa. Repot sendiri kita. Kita ini jarang berpikir itu gara-gara Pak Harto. Semoga dilapangkan kuburnya. Dulu itu apa-apa yang mikir Pak Harto semua. Nanam padi Pak Harto yang mikir. jual cengkeh di tempat Tomi saja, jangan ke yang lain. Sampai-sampai warna cat tembok rumah kita itu Pak Harto yang mikir. Cat kuning saja jangan yang lain. Lho itu...hahaha.
Akhirnya kita ini terus malas mikir, punya Allah kok tidak dipikir. Besarnya seberapa, cuma bilang Allahu Akbar, Allahu Akbar disamakan sama pengajian akbar. Kalau cuma pengajian akbar saja segini (sambil menunjuk ribuan jamaah). Lha, terus Allah itu seberapa.
Kalau kita cari di internet, itu ada gambarnya sampeyan sama bumi sampeyan. Jadi enak kalau diputar di android, bisa jelas kecilnya sampeyan itu sangat kelihatan. Dulu sebelum ada gambar bumi dan alam semesta itu saya itu ngarang sendiri. Kalau lihat besarnya bulan, matahari, satelit, kalau digambar alam semesta ini kira-kira bumi kita ini seperti biji kacang hijau. Tapi setelah ada gambar di internet yang jelas seperti itu, bumi, matahari dan yang lainnya ternyata lebih kecil dari pada kacang hijau.
Bumi itu Kayak Kacang Ijo
Bumi kita kalau dibandingkan dengan makhluk Allah di alam semesta ini, tidak bisa dibayangkan. Ada yang enam kali bumi, enam ratus kali bumi, enam ribu kali bumi. Nanti sampeyan lihat sendiri di dalam internet kalau belum percaya. Bumi yang besarnya seperti kacang hijau di isi kira kira 7 milyar manusia. Kita cari dimana kira kira kita di dalam kacang hijau itu. Nah di dalam kacang hijau itu ada pengajian akbar. Terus kita itu seberapa. Saya itu kadang-kadang kalau ada orang yang sok-sokan dan sombong itu malah malah pengen tak guyu (tertawain). Wong di dalam kacang hijau kok seenaknya, sok-sokan. Lha Allah kalau “nggites” sampeyan sak kacang hijau itu mudah sekali, kecil banget. Pengen contoh, tsunami di Aceh sudah pernah 160-an ribu manusia. Di Mexico, tsunami 5 menit ada 10 ribuan manusia. Kalau 10 menit, silahkan hitung sendiri.
Dari sini, dulu banyak sufi yang mengucapkan Allahu Akbar, terus meninggal karena melihat sendiri seperti apa besarnya Allah. Melihat sendiri kecilnya diri ini.
Penduduk bumi ini ada sekitar 7 milyard manusia. Semua itu ada di bumi yang seperti kacang ijo. Terus, seberapa besar 7 milyard manusia itu? Sangaaaaat kecil. Kalaupun 7 milyard manusia itu bangkang semua, gak ada yang mau solat, Allah sama sekali tidak rugi. Makanya, jangan sombong. Cuma bisa sholat aja, sudah kayak bisa mengatur orang masuk surga dan naraka. Halah, dapurmu iku lho.
Bumi kita kalau dibandingkan dengan makhluk Allah di alam semesta ini, tidak bisa dibayangkan. Ada yang enam kali bumi, enam ratus kali bumi, enam ribu kali bumi. Nanti sampeyan lihat sendiri di dalam internet kalau belum percaya. Bumi yang besarnya seperti kacang hijau di isi kira kira 7 milyar manusia. Kita cari dimana kira kira kita di dalam kacang hijau itu. Nah di dalam kacang hijau itu ada pengajian akbar. Terus kita itu seberapa. Saya itu kadang-kadang kalau ada orang yang sok-sokan dan sombong itu malah malah pengen tak guyu (tertawain). Wong di dalam kacang hijau kok seenaknya, sok-sokan. Lha Allah kalau “nggites” sampeyan sak kacang hijau itu mudah sekali, kecil banget. Pengen contoh, tsunami di Aceh sudah pernah 160-an ribu manusia. Di Mexico, tsunami 5 menit ada 10 ribuan manusia. Kalau 10 menit, silahkan hitung sendiri.
Dari sini, dulu banyak sufi yang mengucapkan Allahu Akbar, terus meninggal karena melihat sendiri seperti apa besarnya Allah. Melihat sendiri kecilnya diri ini.
Penduduk bumi ini ada sekitar 7 milyard manusia. Semua itu ada di bumi yang seperti kacang ijo. Terus, seberapa besar 7 milyard manusia itu? Sangaaaaat kecil. Kalaupun 7 milyard manusia itu bangkang semua, gak ada yang mau solat, Allah sama sekali tidak rugi. Makanya, jangan sombong. Cuma bisa sholat aja, sudah kayak bisa mengatur orang masuk surga dan naraka. Halah, dapurmu iku lho.
MAHA SEMAU GUE
Cuma Gusti Allah itu punya sifat, kalau dalam bahasa Jakartanya, Allah itu MAHA SEMAU GUE. Cuma manusia yang sangat kecil ini, kok diurus sama Allah. Yo ben. Ini menunjukkan sifat SEMAU GUENYA Gusti Allah. Dulu pas mau menciptakan Adam itu, malaikat pada protes. Kok bumi itu udah bagus-bagus malah mau diberi manusia yang bisanya cuma bertengkar, tukang ngebom, tukang menumpahkan darah. Yo ben, Gusti Allah ya begitu, MAHA SEMAU GUE. Emangnya kalau Gusti Allah itu MAHA SEMAU GUE, mau apa kamu?
Orang Banguntapan (tempat ngaji-red) orangnya kayak gini, kok kiblatnya ka`bah. Harusnya kan Borobudur. Lho sampean jangan ketawa, orang kayak kalian kan potongan Borobudur. Rumahnya dekat Borobudur. Orangnya Jawa, bahasanya honocoroko dotosowolo. Sementara Kanjeng Nabi itu abajadun hawazun.... Kanjeng Nabi itu tidak kenal “ngo” sama sekali. Sampeyan itu juga tidak kenal “ain”. Kenalnya kan “ngain”, kayak a`laihim jadi ngalaihim. Sampean juga tidak punya “dlod” padahal Kanjeng Nabi itu afshohu man nathoqu bi dzood.
Kanjeng Nabi itu paling fashih kalau melafalkan dlod, sampean coba romadhon jadi ramlan, murtadlo jadi murtala, dzuhur jadi luhur, ridha jadi rilo. Sampean tidak ada apa-apanya sama Kenjeng Nabi. Lha kok bisa ikut agama Kanjeng Nabi. Sampaean pakai akal, itu tidak bisa.
Sampean itu ikut apanya? Deket Mekah ya tidak. Karena harus lewat 7 samudra, naik pesawat jet butuh waktu 9 jam dari sini sampai tempat Kanjeng Nabi. Sementara sampean ke Borobudur cuma sebentar. Bahasannya aja tidak sama, apalagi wajahnya. Jauh sekali. Tidak mungkin. Kanjeng Nabi itu putih semu abang, jadi kalau kena matahari tubuhnya jadi merah. Sementara kita sendiri kulitnya seperti sawo bosok, nggak ada sama sekali yang mirip Kanjeng Nabi. Bukan keponakan, bukan misanan, bukan mindoan, bukan semuanya. Lha kok bisa ikut Nabi?
Padahal, ada tetangga cer/“persis” sebelah Kanjeng Nabi, punya hubungan keluarga. Besanan 2 anak sama Kanjeng Nabi, yaitu Sayidatina Umi Kulsum dan Ruqoiyyah. Wajahnya tetangga itu putih kemerah-merahan sama seperti ayahnya beliau, yakni Sayyidina Abdulloh. Tetangga itu bukan saja menolak Kanjeng Nabi, bahkan ketika diajak Kanjeng Nabi menyembah Allah, langsung memusuhi Kanjeng Nabi. Sampean nggak lupa kan, masak sama pamannya Kanjeng Nabi nggak kenal. Namanya itu Abdul Ka`bah, tapi terkenal dengan sebutan Abu Lahab. Sudah jelas kan!
Lha kenapa kita semua percaya dengan Kanjeng Nabi? Karena Kanjeng Nabi Muhammad itu tidak berbohong meskipun cuma separuh. Makanya, beliau dijuluki al-amin. Toh begitu, ketika semua orang dikumpulkan Kanjeng Nabi, Abu Lahab tetap menolak. Makanya kemudian dia dijuluki dalam al-Quran, “tabbat yada abi lahabi watabb”. Abu Lahab bahkan menyuruh dua anaknya untuk menceraikan istri-istrinya yang tak lain adalah putri Nabi. Kedua putri Nabi itu kemudian menikah dengan Sayyidina Utsman, makanya Sayyidina Utsman dijuluki Dzun nurain (dua cahaya).
Ayo, sampaean undang para profesor yang udah botak-botak itu. Suruh menjelaskan ini!
Ya sudah, tanya aku saja. Itu ya karena Allah MAHA SEMAU GUE.
Ini orang Banguntapan kok percaya sama Kanjeng Nabi sampai adem-adem kumpul segini banyaknya untuk membahs dawuhe Kanjeng Nabi dan dawuhnya Gusti Allah yaitu amar ma`ruf nahi mungkar. Itu semua kehendak Gusti Allah, karena Gusti Allah itu mempunyai sifat MAHA SEMAU GUE. Nanti kalau Abu Lahab protes, kok orang Banguntapan yang rupanya kayak gitu diberi hidayah, sedangkan saya yang tetangga dekat, masih saudara, besanan anak 2 kok nggak di kasih hidayah. Yo ben, SEMAU GUE. Gusti Allah MAHA SEMAU GUE, jadi sampean nggak usah sombong pengen mengislamkan orang itu lho. Kanjeng Nabi saja tidak bisa kok.
Kalau sampean mau dakwah, mau amar ma`ruf silahkan tapi memaksa orang untuk ikut Kanjeng Nabi itu sia-sia. Itu pekerjaannnya Gusti Allah. Sampean gak usah sombong banget. Sampean kewajibannya ajak-ajak amar ma`ruh nahi mungkar, itu aja perlu kita tinjau ulang kembali tentang konsep dakwah amar ma`ruf nahi mungkar. Amar ma`ruf nahi mungkar itu bukan da`wah. Tapi kita merancukan maknanya. Ini penting untuk ditegaskan. Soalnya ada beberapa orang yang ingin mengalahkan Kanjeng Nabi. Lha Kanjeng Nabi itu saja nggak bisa mengislamkan Abu Lahab yang pamannya sendiri, tetangga persis, besanan anak 2. Kalau kurang, ada Nabi Ibrohim nggak bisa mengislamkan bapaknya sendiri. Masih kurang, ada Nabi Nuh tidak bisa mengilamkan anaknya sendiri, Nabi Nuh tidak bisa mengislamkan istrinya sendiri, masih kurang lagi Fira`un tidak bisa mengkafirkan istrinya sendiri.
Jadi kalau sampean mau dakwah, mau amar ma`ruf, tapi memaksa orang, itu namanya sombong. Kalau di tempat saya itu namanya mlete, kok rakus banget seolah bisa mengislamkan segitu banyak orang. Nabi Muhammad SAW sendiri tidak bisa seperti itu. Jadi kita harus tahu kedudukan kita.
Cuma Gusti Allah itu punya sifat, kalau dalam bahasa Jakartanya, Allah itu MAHA SEMAU GUE. Cuma manusia yang sangat kecil ini, kok diurus sama Allah. Yo ben. Ini menunjukkan sifat SEMAU GUENYA Gusti Allah. Dulu pas mau menciptakan Adam itu, malaikat pada protes. Kok bumi itu udah bagus-bagus malah mau diberi manusia yang bisanya cuma bertengkar, tukang ngebom, tukang menumpahkan darah. Yo ben, Gusti Allah ya begitu, MAHA SEMAU GUE. Emangnya kalau Gusti Allah itu MAHA SEMAU GUE, mau apa kamu?
Orang Banguntapan (tempat ngaji-red) orangnya kayak gini, kok kiblatnya ka`bah. Harusnya kan Borobudur. Lho sampean jangan ketawa, orang kayak kalian kan potongan Borobudur. Rumahnya dekat Borobudur. Orangnya Jawa, bahasanya honocoroko dotosowolo. Sementara Kanjeng Nabi itu abajadun hawazun.... Kanjeng Nabi itu tidak kenal “ngo” sama sekali. Sampeyan itu juga tidak kenal “ain”. Kenalnya kan “ngain”, kayak a`laihim jadi ngalaihim. Sampean juga tidak punya “dlod” padahal Kanjeng Nabi itu afshohu man nathoqu bi dzood.
Kanjeng Nabi itu paling fashih kalau melafalkan dlod, sampean coba romadhon jadi ramlan, murtadlo jadi murtala, dzuhur jadi luhur, ridha jadi rilo. Sampean tidak ada apa-apanya sama Kenjeng Nabi. Lha kok bisa ikut agama Kanjeng Nabi. Sampaean pakai akal, itu tidak bisa.
Sampean itu ikut apanya? Deket Mekah ya tidak. Karena harus lewat 7 samudra, naik pesawat jet butuh waktu 9 jam dari sini sampai tempat Kanjeng Nabi. Sementara sampean ke Borobudur cuma sebentar. Bahasannya aja tidak sama, apalagi wajahnya. Jauh sekali. Tidak mungkin. Kanjeng Nabi itu putih semu abang, jadi kalau kena matahari tubuhnya jadi merah. Sementara kita sendiri kulitnya seperti sawo bosok, nggak ada sama sekali yang mirip Kanjeng Nabi. Bukan keponakan, bukan misanan, bukan mindoan, bukan semuanya. Lha kok bisa ikut Nabi?
Padahal, ada tetangga cer/“persis” sebelah Kanjeng Nabi, punya hubungan keluarga. Besanan 2 anak sama Kanjeng Nabi, yaitu Sayidatina Umi Kulsum dan Ruqoiyyah. Wajahnya tetangga itu putih kemerah-merahan sama seperti ayahnya beliau, yakni Sayyidina Abdulloh. Tetangga itu bukan saja menolak Kanjeng Nabi, bahkan ketika diajak Kanjeng Nabi menyembah Allah, langsung memusuhi Kanjeng Nabi. Sampean nggak lupa kan, masak sama pamannya Kanjeng Nabi nggak kenal. Namanya itu Abdul Ka`bah, tapi terkenal dengan sebutan Abu Lahab. Sudah jelas kan!
Lha kenapa kita semua percaya dengan Kanjeng Nabi? Karena Kanjeng Nabi Muhammad itu tidak berbohong meskipun cuma separuh. Makanya, beliau dijuluki al-amin. Toh begitu, ketika semua orang dikumpulkan Kanjeng Nabi, Abu Lahab tetap menolak. Makanya kemudian dia dijuluki dalam al-Quran, “tabbat yada abi lahabi watabb”. Abu Lahab bahkan menyuruh dua anaknya untuk menceraikan istri-istrinya yang tak lain adalah putri Nabi. Kedua putri Nabi itu kemudian menikah dengan Sayyidina Utsman, makanya Sayyidina Utsman dijuluki Dzun nurain (dua cahaya).
Ayo, sampaean undang para profesor yang udah botak-botak itu. Suruh menjelaskan ini!
Ya sudah, tanya aku saja. Itu ya karena Allah MAHA SEMAU GUE.
Ini orang Banguntapan kok percaya sama Kanjeng Nabi sampai adem-adem kumpul segini banyaknya untuk membahs dawuhe Kanjeng Nabi dan dawuhnya Gusti Allah yaitu amar ma`ruf nahi mungkar. Itu semua kehendak Gusti Allah, karena Gusti Allah itu mempunyai sifat MAHA SEMAU GUE. Nanti kalau Abu Lahab protes, kok orang Banguntapan yang rupanya kayak gitu diberi hidayah, sedangkan saya yang tetangga dekat, masih saudara, besanan anak 2 kok nggak di kasih hidayah. Yo ben, SEMAU GUE. Gusti Allah MAHA SEMAU GUE, jadi sampean nggak usah sombong pengen mengislamkan orang itu lho. Kanjeng Nabi saja tidak bisa kok.
Kalau sampean mau dakwah, mau amar ma`ruf silahkan tapi memaksa orang untuk ikut Kanjeng Nabi itu sia-sia. Itu pekerjaannnya Gusti Allah. Sampean gak usah sombong banget. Sampean kewajibannya ajak-ajak amar ma`ruh nahi mungkar, itu aja perlu kita tinjau ulang kembali tentang konsep dakwah amar ma`ruf nahi mungkar. Amar ma`ruf nahi mungkar itu bukan da`wah. Tapi kita merancukan maknanya. Ini penting untuk ditegaskan. Soalnya ada beberapa orang yang ingin mengalahkan Kanjeng Nabi. Lha Kanjeng Nabi itu saja nggak bisa mengislamkan Abu Lahab yang pamannya sendiri, tetangga persis, besanan anak 2. Kalau kurang, ada Nabi Ibrohim nggak bisa mengislamkan bapaknya sendiri. Masih kurang, ada Nabi Nuh tidak bisa mengilamkan anaknya sendiri, Nabi Nuh tidak bisa mengislamkan istrinya sendiri, masih kurang lagi Fira`un tidak bisa mengkafirkan istrinya sendiri.
Jadi kalau sampean mau dakwah, mau amar ma`ruf, tapi memaksa orang, itu namanya sombong. Kalau di tempat saya itu namanya mlete, kok rakus banget seolah bisa mengislamkan segitu banyak orang. Nabi Muhammad SAW sendiri tidak bisa seperti itu. Jadi kita harus tahu kedudukan kita.
Makna Dakwah
Nah, kembali ke temanya ini (pengajian-red), di Yogyakarta itu kalau ngaji memakai tema, ini ada tema dakwah, amar ma’ruf, nahi munkar. Amar ma’ruf nahi munkar sama dakwah itu maknanya beda. Dakwah itu maknanya mengajak. “Maknanya apa Bu?” (Gus Mus menyapa hadirin). “Mengajak” (hadirin menjawab). “Apakah jamaah semua sudah tahu yang namanya mengajak?” (sapa Gus Mus kembali). “Sudah” (jawab hadirin). Kalau amar itu artinya perintah, kalau nahi artinya melarang, dari segi makna jauh berbeda. Mengajak sama perintah itu berbeda. Contohnya suami sama istrinya, “mari Dek, ini malam jum’at,” itu namanya mengajak. Kalau “ayo cepat berbaring!” nah itu namanya perintah (disambut tawa hadirin).
Perintah dakwah itu ayatnya ud’u ilâ sabîli robbika bil ḥikmati wal mau’idzotil ḥasanati wajâdilhum billatî hiya aḥsan. Ud’u artinya ajaklah, ilâ sabîli robbika (ke jalan Tuhanmu). “Siapa yang diajak?” (sapa Gus Mus). “Lho, ndak ada yang jawab.” Di ayat itu tidak ada (objek yang diajak-red), santri bilang itu tidak ada maf’ul bih-nya (objek-red). Siapa yang diajak tidak disebutkan. Kalau di al-Qur’an terjemahan Departemen Agama maknanya : ajaklah (manusia) ke jalan Tuhanmu. Setelah kata “ajaklah” diberi tanda kurung. Ini firman Allah kok malah dikasih kurung (disambut tawa hadirin).
Maka saya tidak cocok dengan terjemahan itu. Sebab yang saat ini menjadikan kekacauan itu karena terjemahan Al-Qur’an (hanya bermodal terjemahan tanpa tahu maksudnya). Qur’an itu ditafsirkan, bukan sekedar diterjemahkan. Bahasa Al-Qur’an sangat tinggi sastranya. Tidak bisa dibandingkan dengan Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia tidak ada tashrifan-nya. (Misalnya) kata aku makan, kamu makan, dia makan, besok makan, sekarang makan, semuanya sama menggunakan kata makan. Kalau di Bahasa Arab, kata qôma zaidun, yaqūmu zaidun, zaidun qôimun, inna zaidan qôimun, kâna zaidun qôiman, zaidun qôma, inna zaidan qôma, inna zaidan yaqūmu semua maknanya beda. Itu kalau diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia maknanya sama: Zaid berdiri.
Jadi mau nerjemahkan gimana, tentu banyak sekali unsur-unsur sastranya yang hilang, terutama estetika Al-Qur’an. Apalagi kalau diterjemahkan oleh tim, dengan pendapatnya yang berbeda-beda. Lalu mengakomodasi pendapat masing-masing digunakan untuk menerjemahkan sastra yang begitu tinggi, ndak mungkin.
Ud’u ilâ sabîli robbika, kalau maknanya ajaklah ke jalan Tuhanmu, lalu dalam kurung “(manusia)”, maka kurungnya itu sia-sia, karena ini bahasa sastra yang sudah tinggi. Tidak usah disebutkan (objeknya-red) itu sudah jelas kok. Seperti kernet bus yang mengajak penumpang untuk naik bus, siapa yang diajak, tentu yang belum naik bus. Masak yang sudah di dalam bus diajak naik bus? (disambut tawa hadirin). Nah, ajaklah ke jalan Tuhanmu, maknanya yang diajak adalah mereka yang belum di jalan Tuhan. Itu kalau tahu sastra, tahu bahasa Al-Qur’an. Karena ajaklah, maka bil ḥikmah. Kalau amar (perintah-red) tidak pakai. Kenapa? Karena yang diajak belum di jalan Tuhan.
Sekarang ada istilah mau’idzoh ḥasanah, dari kata ud’u ilâ sabîli robbika bil ḥikmati wal mau’idzotil ḥasanati, yang salah kaprah dalam memahami. Mauidoh ḥasanah itu buat orang yang belum di jalan Tuhan. Lha kalian (para jamaah) itu sudah di jalan Tuhan, malah mungkin lebih ndalan dari pada yang duduk disini (Gus Mus). (Sebagai contoh), kalau sudah di dalam bus tidak usah diajak, tapi yang diajak itu yang belum di dalam bus.
Kalau kepingin tahu (metode) dakwah yang sungguh-sungguh lihat di terminal sana, lihat calo-calo bus. Calo bus itu luar biasa kalau ngajak. Nawarin bus yang pakai AC, nanti ada karaoke-nya, luar biasa pinternya mengajak sampai orang tertarik untuk naik. Itu (gambaran) cara ngajak bil ḥikmati wal mau’idzotil ḥasanati. Menggunakan cara yang sopan, halus, sehingga orang pada tertarik. Nah, baru kalau sudah masuk di jalan yang benar, ilâ sabîli robbika, baru amar ma’ruf nahi munkar. Jadi ada tahapan-tahapan dimana orang kalau sudah diajak ke jalan Allah dengan hikmah, mau’idzoh hasanah, baru amar ma’ruf nahi munkar.
Nah, kembali ke temanya ini (pengajian-red), di Yogyakarta itu kalau ngaji memakai tema, ini ada tema dakwah, amar ma’ruf, nahi munkar. Amar ma’ruf nahi munkar sama dakwah itu maknanya beda. Dakwah itu maknanya mengajak. “Maknanya apa Bu?” (Gus Mus menyapa hadirin). “Mengajak” (hadirin menjawab). “Apakah jamaah semua sudah tahu yang namanya mengajak?” (sapa Gus Mus kembali). “Sudah” (jawab hadirin). Kalau amar itu artinya perintah, kalau nahi artinya melarang, dari segi makna jauh berbeda. Mengajak sama perintah itu berbeda. Contohnya suami sama istrinya, “mari Dek, ini malam jum’at,” itu namanya mengajak. Kalau “ayo cepat berbaring!” nah itu namanya perintah (disambut tawa hadirin).
Perintah dakwah itu ayatnya ud’u ilâ sabîli robbika bil ḥikmati wal mau’idzotil ḥasanati wajâdilhum billatî hiya aḥsan. Ud’u artinya ajaklah, ilâ sabîli robbika (ke jalan Tuhanmu). “Siapa yang diajak?” (sapa Gus Mus). “Lho, ndak ada yang jawab.” Di ayat itu tidak ada (objek yang diajak-red), santri bilang itu tidak ada maf’ul bih-nya (objek-red). Siapa yang diajak tidak disebutkan. Kalau di al-Qur’an terjemahan Departemen Agama maknanya : ajaklah (manusia) ke jalan Tuhanmu. Setelah kata “ajaklah” diberi tanda kurung. Ini firman Allah kok malah dikasih kurung (disambut tawa hadirin).
Maka saya tidak cocok dengan terjemahan itu. Sebab yang saat ini menjadikan kekacauan itu karena terjemahan Al-Qur’an (hanya bermodal terjemahan tanpa tahu maksudnya). Qur’an itu ditafsirkan, bukan sekedar diterjemahkan. Bahasa Al-Qur’an sangat tinggi sastranya. Tidak bisa dibandingkan dengan Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia tidak ada tashrifan-nya. (Misalnya) kata aku makan, kamu makan, dia makan, besok makan, sekarang makan, semuanya sama menggunakan kata makan. Kalau di Bahasa Arab, kata qôma zaidun, yaqūmu zaidun, zaidun qôimun, inna zaidan qôimun, kâna zaidun qôiman, zaidun qôma, inna zaidan qôma, inna zaidan yaqūmu semua maknanya beda. Itu kalau diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia maknanya sama: Zaid berdiri.
Jadi mau nerjemahkan gimana, tentu banyak sekali unsur-unsur sastranya yang hilang, terutama estetika Al-Qur’an. Apalagi kalau diterjemahkan oleh tim, dengan pendapatnya yang berbeda-beda. Lalu mengakomodasi pendapat masing-masing digunakan untuk menerjemahkan sastra yang begitu tinggi, ndak mungkin.
Ud’u ilâ sabîli robbika, kalau maknanya ajaklah ke jalan Tuhanmu, lalu dalam kurung “(manusia)”, maka kurungnya itu sia-sia, karena ini bahasa sastra yang sudah tinggi. Tidak usah disebutkan (objeknya-red) itu sudah jelas kok. Seperti kernet bus yang mengajak penumpang untuk naik bus, siapa yang diajak, tentu yang belum naik bus. Masak yang sudah di dalam bus diajak naik bus? (disambut tawa hadirin). Nah, ajaklah ke jalan Tuhanmu, maknanya yang diajak adalah mereka yang belum di jalan Tuhan. Itu kalau tahu sastra, tahu bahasa Al-Qur’an. Karena ajaklah, maka bil ḥikmah. Kalau amar (perintah-red) tidak pakai. Kenapa? Karena yang diajak belum di jalan Tuhan.
Sekarang ada istilah mau’idzoh ḥasanah, dari kata ud’u ilâ sabîli robbika bil ḥikmati wal mau’idzotil ḥasanati, yang salah kaprah dalam memahami. Mauidoh ḥasanah itu buat orang yang belum di jalan Tuhan. Lha kalian (para jamaah) itu sudah di jalan Tuhan, malah mungkin lebih ndalan dari pada yang duduk disini (Gus Mus). (Sebagai contoh), kalau sudah di dalam bus tidak usah diajak, tapi yang diajak itu yang belum di dalam bus.
Kalau kepingin tahu (metode) dakwah yang sungguh-sungguh lihat di terminal sana, lihat calo-calo bus. Calo bus itu luar biasa kalau ngajak. Nawarin bus yang pakai AC, nanti ada karaoke-nya, luar biasa pinternya mengajak sampai orang tertarik untuk naik. Itu (gambaran) cara ngajak bil ḥikmati wal mau’idzotil ḥasanati. Menggunakan cara yang sopan, halus, sehingga orang pada tertarik. Nah, baru kalau sudah masuk di jalan yang benar, ilâ sabîli robbika, baru amar ma’ruf nahi munkar. Jadi ada tahapan-tahapan dimana orang kalau sudah diajak ke jalan Allah dengan hikmah, mau’idzoh hasanah, baru amar ma’ruf nahi munkar.
Hilangnya Rūḥud Da’wah
Hari ini ada terjadi krisis di kalangan umat Islam, termasuk pemimpin-pemimpinnya, yaitu hilangnya ruḥud da’wah (semangat berdakwah). Sekarang ini kalau melihat orang yang belum di jalan yang benar langsung sikat. Kalau sesat langsung sikat, bid’ah sikat. Padahal dulu pemimpin agung kita, Nabi Muhammad SAW, tidak mencontohkan demikian. Rasulullah SAW ketika dakwah dahulu menghadapi orang yang bodoh sekali, istilahnya jahil murokkab.
Mereka diajak tidak mau, bahkan “melawan”. Itu kan orang bodoh sekali. Saya contohkan, kalau sampean tak ajak : “Ayo Kang ke solo”, dijawab : “tidak, saya malas”, gitu kan sudah cukup to. Lha mereka (kaum jahiliyah) tidak bisa. Diajak tidak mau malah melempar batu. Itu orang kok sampai segitunya, kan sesat jauh sekali. Sampai-sampai malaikat itu jengkel, lalu lapor sama Nabi Muhammad SAW : “Nabi, njenengan itu kekasihnya Allah, mbok matur sama Allah biar mereka disikat saja.” Kanjeng Nabi njawab : “Malaikat, saya itu diutus untuk mengajak, bu’itstu dâ’iyan, bukan untuk menghancurkan. Kalau tidak dapat bapaknya, anaknya. Kalau tidak dapat anaknya, cucunya.” Inilah rūḥut dakwah-nya Rasulullah SAW.
Maka lihat, Khalid bin Walid, anak dari Al-Walid bin Mughiroh, sesepuh (pemimpin) kufar Mekah yang memusuhi Nabi Muhammad SAW, yang pernah merusak pasukan Islam pada perang Uhud, akhirnya masuk Islam dan menjadi pahlawan Islam. Al-Ash bin Wail, dedengkot kufar Mekah yang memusuhi Nabi Muhammad SAW, punya putra Amr bin Ash, punya cucu Abdullah bin Amr bin Ash, keduanya menjadi pahlawan Islam. Ikrima, anak dari Abu Jahal yang terkenal licik, masuk Islam. Abu Sofyan bin Harb, panglima besar kaum kafir pada perang Uhud yang menghancurkan pasukan Islam sampai nabi Muhammad SAW luka di bagian wajahnya, akhirnya masuk Islam.
Hindun istri dari Abu Sofyan, orang yang mencabik-cabik jantung Sayyidina Hamzah pada perang Uhud, yang mengutus budak berkulit hitam bernama Wahsyi untuk membunuh Sayyidina Hamzah dengan jaminan dimerdekakan, akhirnya masuk Islam. Ketika ada laporan bahwa Sayyidina Hamzah tewas, Hindun datang membawa pisau untuk merobek-robek dadanya Sayyidina Hamzah, lalu diambil jatungnya untuk dimakan. Setelah masuk Islam, Hindun melapor pada Rasulullah SAW, lalu berkata : “Dulu tidak ada orang yang saya benci melebihi engkau, tapi sekarang tidak ada seseorang yang saya cintai melebihi engkau.”
Itu semua secara lahiriah merupakan wujud dari ruḥud da’wah-nya Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Kalau pada hakekatnya itu kuasane Gusti Allah SWT, sebab Allah itu maha semau gue. Karena wujud dakwah ini, maka segera penduduk dunia ini memeluk agama Islam, bahkan sampai sekarang hampir nomer satu di dunia. Ini ditiru oleh pendahulu-pendahulu kita yaitu para wali songo di tanah Jawa. Mereka terkenal memiliki ruḥud da’wah.
(Seperti) Sunan Kalijaga sampai membuat wayang. Bentuk wayang itu syar’i, kalau bahasa sekarang, sebab menggambar tiga dimensi itu tidak boleh, sebagaimana dalam hadis. Maka bentuknya dibuat gepeng (pipih), matanya cuma satu, tangannya panjang melebihi lutut. Manusia kan tidak ada yang seperti itu. Maka namanya wayang, itu bukan manusia tetapi cuma ayang-ayang (bayang-bayang) dari manusia. Lalu ada dalang, orang yang suka cerita dengan cerita macam-macam.
Nah, sekarang itu orang sudah kehilangan rūḥud da’wah. Pokoknya sesat disikat. Andaikan dahulu Rasulullah begitu, bisa kita bayangkan Islam tidak bisa berkembang. Cuma Rasulullah yang Islam, sementara yang lainnya disikat. Untungnya Rasullulah tidak seperti orang seperti itu. Rasullulah memiliki sifat rūḥud da’wah, mengajak secara pelan-pelan bill hikmati wal maidhatil khasanah, seperti calo terminal itu contoh dakwah yang paling bagus.
Kalau perlu saling bantah-membantah, maka wajâdilhum billatî hiya aḥsan. Artinya, apabila kita harus lebih baik dulu jika ingin membantah orang lain. Jangan sampai kita melaknati orang lain dengan perkataan kita, dan jangan sampai ketika orang lain mengeluarkan kata kotor, lalu kita membalas dengan balasan yang lebih buruk. Katanya Muslim sejati tapi kok lisannya fasih dengan perkataan kotor atau laknat. Mengajak orang itu dengan lemah lembut. Baru kalau orang sudah dijalan yang benar, ndak tidak perlu mengajak lagi, tapi memerintah (amar).
Hari ini ada terjadi krisis di kalangan umat Islam, termasuk pemimpin-pemimpinnya, yaitu hilangnya ruḥud da’wah (semangat berdakwah). Sekarang ini kalau melihat orang yang belum di jalan yang benar langsung sikat. Kalau sesat langsung sikat, bid’ah sikat. Padahal dulu pemimpin agung kita, Nabi Muhammad SAW, tidak mencontohkan demikian. Rasulullah SAW ketika dakwah dahulu menghadapi orang yang bodoh sekali, istilahnya jahil murokkab.
Mereka diajak tidak mau, bahkan “melawan”. Itu kan orang bodoh sekali. Saya contohkan, kalau sampean tak ajak : “Ayo Kang ke solo”, dijawab : “tidak, saya malas”, gitu kan sudah cukup to. Lha mereka (kaum jahiliyah) tidak bisa. Diajak tidak mau malah melempar batu. Itu orang kok sampai segitunya, kan sesat jauh sekali. Sampai-sampai malaikat itu jengkel, lalu lapor sama Nabi Muhammad SAW : “Nabi, njenengan itu kekasihnya Allah, mbok matur sama Allah biar mereka disikat saja.” Kanjeng Nabi njawab : “Malaikat, saya itu diutus untuk mengajak, bu’itstu dâ’iyan, bukan untuk menghancurkan. Kalau tidak dapat bapaknya, anaknya. Kalau tidak dapat anaknya, cucunya.” Inilah rūḥut dakwah-nya Rasulullah SAW.
Maka lihat, Khalid bin Walid, anak dari Al-Walid bin Mughiroh, sesepuh (pemimpin) kufar Mekah yang memusuhi Nabi Muhammad SAW, yang pernah merusak pasukan Islam pada perang Uhud, akhirnya masuk Islam dan menjadi pahlawan Islam. Al-Ash bin Wail, dedengkot kufar Mekah yang memusuhi Nabi Muhammad SAW, punya putra Amr bin Ash, punya cucu Abdullah bin Amr bin Ash, keduanya menjadi pahlawan Islam. Ikrima, anak dari Abu Jahal yang terkenal licik, masuk Islam. Abu Sofyan bin Harb, panglima besar kaum kafir pada perang Uhud yang menghancurkan pasukan Islam sampai nabi Muhammad SAW luka di bagian wajahnya, akhirnya masuk Islam.
Hindun istri dari Abu Sofyan, orang yang mencabik-cabik jantung Sayyidina Hamzah pada perang Uhud, yang mengutus budak berkulit hitam bernama Wahsyi untuk membunuh Sayyidina Hamzah dengan jaminan dimerdekakan, akhirnya masuk Islam. Ketika ada laporan bahwa Sayyidina Hamzah tewas, Hindun datang membawa pisau untuk merobek-robek dadanya Sayyidina Hamzah, lalu diambil jatungnya untuk dimakan. Setelah masuk Islam, Hindun melapor pada Rasulullah SAW, lalu berkata : “Dulu tidak ada orang yang saya benci melebihi engkau, tapi sekarang tidak ada seseorang yang saya cintai melebihi engkau.”
Itu semua secara lahiriah merupakan wujud dari ruḥud da’wah-nya Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Kalau pada hakekatnya itu kuasane Gusti Allah SWT, sebab Allah itu maha semau gue. Karena wujud dakwah ini, maka segera penduduk dunia ini memeluk agama Islam, bahkan sampai sekarang hampir nomer satu di dunia. Ini ditiru oleh pendahulu-pendahulu kita yaitu para wali songo di tanah Jawa. Mereka terkenal memiliki ruḥud da’wah.
(Seperti) Sunan Kalijaga sampai membuat wayang. Bentuk wayang itu syar’i, kalau bahasa sekarang, sebab menggambar tiga dimensi itu tidak boleh, sebagaimana dalam hadis. Maka bentuknya dibuat gepeng (pipih), matanya cuma satu, tangannya panjang melebihi lutut. Manusia kan tidak ada yang seperti itu. Maka namanya wayang, itu bukan manusia tetapi cuma ayang-ayang (bayang-bayang) dari manusia. Lalu ada dalang, orang yang suka cerita dengan cerita macam-macam.
Nah, sekarang itu orang sudah kehilangan rūḥud da’wah. Pokoknya sesat disikat. Andaikan dahulu Rasulullah begitu, bisa kita bayangkan Islam tidak bisa berkembang. Cuma Rasulullah yang Islam, sementara yang lainnya disikat. Untungnya Rasullulah tidak seperti orang seperti itu. Rasullulah memiliki sifat rūḥud da’wah, mengajak secara pelan-pelan bill hikmati wal maidhatil khasanah, seperti calo terminal itu contoh dakwah yang paling bagus.
Kalau perlu saling bantah-membantah, maka wajâdilhum billatî hiya aḥsan. Artinya, apabila kita harus lebih baik dulu jika ingin membantah orang lain. Jangan sampai kita melaknati orang lain dengan perkataan kita, dan jangan sampai ketika orang lain mengeluarkan kata kotor, lalu kita membalas dengan balasan yang lebih buruk. Katanya Muslim sejati tapi kok lisannya fasih dengan perkataan kotor atau laknat. Mengajak orang itu dengan lemah lembut. Baru kalau orang sudah dijalan yang benar, ndak tidak perlu mengajak lagi, tapi memerintah (amar).
Beda Orang Jakarta, Beda Orang Tua
Orang yang beramal amar ma’ruf nahi mungkar itu semestinya harus dilandasi kasih sayang karena pada dasarnya amar ma’ruf nahi mungkar adalah manifestasi dari kasih sayang. Jadi kalau disebut menguatkan amar ma’ruf nahi mungkar itu namanya menguatkan kasih sayang diantara sesama. Semakin seorang sayang kepada manusia berarti semakin kuat amar ma’ruf nahi mungkar. Ketika seorang tidak memiliki kasih sayang maka akan hilang rasa kepedulianya kepada sesama. Saya mencontohkan, misalnya ada anak kecil memanjat pohon jambu biji ketika hujan. Lalu ada empat orang melihat dengan reaksi yang berbeda-beda.
Satunya orang Jakarta melihat anak itu, cuma bilang dalam hati, “Ini anak siapa hujan-hujan begini kok manjat pohon, nanti bisa jatuh.” Tapi cuma dibatin aja, karena tidak kenal. Kedua adalah tetangganya, ia menasihati : “Nok, turun, nanti jatuh.” Kok ndak turun ya sudah, toh bukan anaknya. Ketiga adalah bapaknya, dengan sedikit membentak “Nok, turun! Awas kalau ndak turun!” Keempat adalah ibunya si anak. Ibunya lagi nggoreng tempe, lalu diberitahu anaknya manjat pohon, langsung lari tanpa peduli gorengannya : “Nok, turun.” Lalu ditarik kakinya anaknya dengan kedua tangannya biar ia turun.
Kenapa reaksi mereka berbeda-beda? Mengapa ibu tidak cukup hanya dengan lisan, apalagi dibatin dalam hati seperti orang Jakarta, tapi sampai menggunakan tangannya agar anaknya turun? Jawabannya karena ibu-lah yang memiliki kasih sayang yang dalam. Inikan seperti yang ditunjukkan hadis : man roā minkum munkaron falyughoyyirhu biyadihi, wain lam yastathi’ fabilisânihi, wain lam yastathi’ fabiqolbihi, wadzâlika adh’aful iman (Barang siapa melihat kemungkaran maka rubahlah dengan tangannya, apabila tidak mampu maka rubahlah dengan lisannnya, apabila tidak mampu maka rubahlah dengan hatinya, demikian itulah selemah-lemah iman).
Orang yang beramal amar ma’ruf nahi mungkar itu semestinya harus dilandasi kasih sayang karena pada dasarnya amar ma’ruf nahi mungkar adalah manifestasi dari kasih sayang. Jadi kalau disebut menguatkan amar ma’ruf nahi mungkar itu namanya menguatkan kasih sayang diantara sesama. Semakin seorang sayang kepada manusia berarti semakin kuat amar ma’ruf nahi mungkar. Ketika seorang tidak memiliki kasih sayang maka akan hilang rasa kepedulianya kepada sesama. Saya mencontohkan, misalnya ada anak kecil memanjat pohon jambu biji ketika hujan. Lalu ada empat orang melihat dengan reaksi yang berbeda-beda.
Satunya orang Jakarta melihat anak itu, cuma bilang dalam hati, “Ini anak siapa hujan-hujan begini kok manjat pohon, nanti bisa jatuh.” Tapi cuma dibatin aja, karena tidak kenal. Kedua adalah tetangganya, ia menasihati : “Nok, turun, nanti jatuh.” Kok ndak turun ya sudah, toh bukan anaknya. Ketiga adalah bapaknya, dengan sedikit membentak “Nok, turun! Awas kalau ndak turun!” Keempat adalah ibunya si anak. Ibunya lagi nggoreng tempe, lalu diberitahu anaknya manjat pohon, langsung lari tanpa peduli gorengannya : “Nok, turun.” Lalu ditarik kakinya anaknya dengan kedua tangannya biar ia turun.
Kenapa reaksi mereka berbeda-beda? Mengapa ibu tidak cukup hanya dengan lisan, apalagi dibatin dalam hati seperti orang Jakarta, tapi sampai menggunakan tangannya agar anaknya turun? Jawabannya karena ibu-lah yang memiliki kasih sayang yang dalam. Inikan seperti yang ditunjukkan hadis : man roā minkum munkaron falyughoyyirhu biyadihi, wain lam yastathi’ fabilisânihi, wain lam yastathi’ fabiqolbihi, wadzâlika adh’aful iman (Barang siapa melihat kemungkaran maka rubahlah dengan tangannya, apabila tidak mampu maka rubahlah dengan lisannnya, apabila tidak mampu maka rubahlah dengan hatinya, demikian itulah selemah-lemah iman).
Anakmu itu lho Bermain di Pinggir Neraka!
Lha sekarang ada ibu-ibu dikasih tau begini: “Buk-buk anakmu itu lho bermain-main di pinggir neraka?” Eh jawabannya kok tenang-tenang saja. “Anak sekarang sudah biasa seperti itu, sudah zamannya”. Coba kalau manjat pohon dijawab ya sudah zamannya anak manjat pohon. Cara berfikir seperti ini terbalik. Sampean mengingatkan anak yang sedang memanjat pohon karena takut kalau anak jatuh dari pohon kakinya patah. Sekarang sampean saya tanya? “Kalau jatuh dari pohon itu paling-paling cuma patah, tetapi kalau di neraka itu dipatah-patahkan (dioklek-oklek). Lho, anak mau dipatah-patahkan di neraka kok malah tenang-tenang saja.”
Yang seperti ini bukan amar ma’ruf nahi mungkar. Artinya, tidak memiliki kasih sayang kepada anak. Sudah tiba waktu sholat maghrib misalnya malah masih nongkrong di perempatan. Entah mencari apa nongkrong di perempatan. Menggoda orang yang lewat? Kalau amar ma’ruf nahi mungkar itu harusnya; “Nak ini sudah maghrib ayo ke masjid, masjid sebesar itu kok ndak ada jama’ahnya terus buat apa?” Kalau zaman sekarang dalam suatu komunitas Muslim tidak ada amar ma’ruf nahi mungkar, sama artinya memang di situ tidak ada kasih sayang antar sesama.
Misalnya lagi, sampean ketemu saya, terus melihat di muka saya ada kotoran. “Itu lho Gus ada kotoran?” Kalau belum kenal saya, paling sampean hanya ngomong dalam hati. “Ini orang mana kok punya kumis cuma sebelah, habis main ketoprak lupa di hapus paling?” Tapi kalau sudah kenal saya, otomatis sampean akan menegur, “Maaf Gus, niku sampean tadi ngaca apa ndak ya? Lho memangnya ada apa? Itu lho Gus di wajah sampean ada kotoran.” Masyaallah, terimakasih sudah diingatkan. Ini terjadi karena ada hubungan batin. Orang itu akan malu ketika saya dipermalukan orang. Inilah yang dimaksud ber-amar ma’ruf nahi mungkar.
Kalau tidak kenal saya, pasti orang itu akan diam saja. Apalagi kalau musuh yang melihat, malah dibiarkan saja. Orang itu pasti senang kalau saya dipermalukan orang banyak. Tapi kalau kenal tidak mungkin. Ketika sandal saya terbalik, paling kalau sampean tidak kenal hanya tertawa saja. Tapi kalau sampean kenal pasti diingatkan; “Lho kang sandal sampean terbalik?.” Kalau istri saya beda lagi. Dia langsung bilang; “Mas, niki sandalnya terbalik.” Istri saya khawatir kalau saya terjatuh karena pakai sandal terbalik. Nah, itu karena rasa sayangnya istri kepada suami. Ini baru namanya amar ma’ruf nahi mungkar.
Jadi, kita perlu bersedih kalau dalam satu komunitas tidak ada yang amar ma’ruf nahi mungkar. Ada orang yang sedang kesusahan dibiarkan saja. Ada orang minum-minuman keras dibiarkan saja. Ada orang tidak sholat di biarkan saja. Artinya memang mereka tidak sayang dan tidak mau mengingatkan, tidak mau mengajak. Andaikan mau mengajak itu pahala semua, tapi kok ndak ada yang mau mengajak. Padahal kalau dalam bertetangga misalnya, kita memasak sesuatu pasti tetangga kita akan kita kasih walaupun sedikit. Lha ini dapat pahala yang banyak kok tidak mau mengajak. Itu kan terbalik namanya. Cara berfikir kita sudah terbalik.
Jadi, kita tidak bisa hanya merevolusi mental saja. Semuanya perlu kita kaji ulang lagi, Gusti Allah itu bagaimana, manusia itu bagaimana, orang Islam itu bagaimana, dakwah itu seperti apa, amar ma’ruf nahi mungkar itu kaya apa, dan seterusnya. Ini perlu kita pikirkan dan renungkan supaya nanti jangan-jangan kita sendiri menganggap sudah disukai Allah, tapi yang terjadi justru sebaliknya, Allah murka pada kita. (tertawa ha..ha..ha..). Orang Islam itu ada yang seperti orang kuno, seperti saya ini. Saya dulu nikah langsung orang tua yang mengatur. Wes pokoknya kamu nanti abah nikahkan sama anaknya Pak Haji Basuni dan saya hanya iya saja.
Zaman saya dulu begitu, apalagi yang perempuan, sama sekali tidak diberi tahu. Maka seringkali terjadi hal-hal lucu. Ingin menyenangkan istrinya tapi ternyata si istri tidak senang. Saya belikan istri rok merah yang harganya 500 ribu. Lha kok malah sama istri saya roknya dipakai buat lap sepeda. Ini terjadi karena saya tidak kenal dengan istri saya. Istri saya itu jatuh cinta sebelum melihat saya. Lho sebelum ketemu, tetapi sudah jatuh cinta. Dia di Jogja saya di Mesir, tapi kita sudah dijodohkan sama orang tua.
Saya itu orang kuno, tapi juga agak modern. Jadi saya waktu itu masih membujuk orang tua. Saya ndak apa-apa dijodohkan, tapi mbok saya diperbolehkan surat-suratan sama calon istri saya. Lho mau surat-suratan saja saya harus izin dulu sama orang tua. Zaman sekarang anak-anak kecil sudah boncengan ke sana ke mari, mau dibawa kemana? Saya diberi izin berkirim surat karena saya tinggal di Mesir dan istri saya tinggal di Jogja. Saya surati, memang karena jauh, jadi orang tua tidak khawatir.
Nah, saya itu ahli dalam membuat surat seperti itu. Bahkan, teman saya sampai menikah karena yang membuatkan surat itu saya. Calon istri saya surati, wah...klepek-klepek dia. Biasanya kalau surat-suratan itu yang duluan minta foto yang laki-laki, tapi kalo saya tidak, malah calon istri saya yang minta foto saya terlebih dulu, karena dia membaca surat saya itu sampai tersentuh dan sudah tidak tahan. Orangnya seperti apa kok bahasanya indah seperti ini? (tertawa ha..ha..ha..). Terus saya carikan foto yang paling bagus lalu saya kirimkan ke calon istri saya. Wah tambah klepek-klepek....! Mpun lah pokoke.
Singkat cerita, akhirnya waktu saya pulang terus menikah begitu saja. Nah, mulai awal berumah tangga, dia kepingin membahagiakan saya sebagai kekasihnya. Dia masak banyak sekali, padahal kami Cuma tinggal berdua. Dia masak opor ayam ceritanya. Hanya buat berdua saja, kelapanya (santan) sampai dua buah. Sampean bayangkan kentalnya santan dua kelapa itu seperti apa. Saat disuguhkan saya cuma mencicipi satu sendok saja. Nangis dia, karena masakannya cuma saya makan satu sendok saja. Dia lapor kepada mertuanya, alias ibu saya, “Mas mus itu keterlaluan buk? Ibu saya, “Gimana-gimana pengantin baru kok sudah men-terlalu-kan suami?” Dia jawab; “Niki lho buk, saya buatkan opor ayam, santannya dua kelapa, saya parut sendiri sampai tangan saya luka, resepnya dari majalah Femina buk, lha kok dicicipi cuma satu sendok!”
Ibu saya cuma tertawa; “Lailahailallah.... kamu kok ndak mau tanya-tanya dulu. Suamimu itu paling tidak suka dengan kuah yang ada santannya (tertawa ha ha ha). Lebih baik kamu buatkan sambal jeruk saja nasi satu bakul habis.” Terus istri saya coba buat sambal jeruk. Langsung nasi satu bakul habis, sampai sekarang kalau makan cuma dengan sambel jeruk. (tertawa ha ha ha). Niku cinta yang menggebu-gebu, tapi tidak kenal dengan yang dicintai. Kita ini seringkali cinta menggebu-gebu kepada Allah, tapi sudah benar-benar kenal Allah belum?” Jangan-jangan kita mau menyenangkan Allah, tapi malah Naudzubillah Allah memberi bencana kepada kita.
Sudah sampai di sini saja, sekarang sudah jam 2 (jam 2 malam). Jadi, kita ini jangan sampai lupa berdoa, meskipun kita hebat berdagang, jangan sekali-kali mengandalkan kehebatan berdagang sampai melupakan doa. “Gusti saya dagang, mencari nafkah untuk keluarga, tapi yang memberi rizki panjenengan.” Sampean ahli pendidikan, jangan sampai mengandalkan pendidikan hingga lupa berdoa. Meskipun ahli pemerintahan, wakil bupati ya harus tetap berdoa pada Allah. “Saya ngomong panjang lebar di depan sini, kelihatan sampean dengarkan serius, tapi nanti kalau pulang sudah nonton TV pasti hilang semua”.
Lha sekarang ada ibu-ibu dikasih tau begini: “Buk-buk anakmu itu lho bermain-main di pinggir neraka?” Eh jawabannya kok tenang-tenang saja. “Anak sekarang sudah biasa seperti itu, sudah zamannya”. Coba kalau manjat pohon dijawab ya sudah zamannya anak manjat pohon. Cara berfikir seperti ini terbalik. Sampean mengingatkan anak yang sedang memanjat pohon karena takut kalau anak jatuh dari pohon kakinya patah. Sekarang sampean saya tanya? “Kalau jatuh dari pohon itu paling-paling cuma patah, tetapi kalau di neraka itu dipatah-patahkan (dioklek-oklek). Lho, anak mau dipatah-patahkan di neraka kok malah tenang-tenang saja.”
Yang seperti ini bukan amar ma’ruf nahi mungkar. Artinya, tidak memiliki kasih sayang kepada anak. Sudah tiba waktu sholat maghrib misalnya malah masih nongkrong di perempatan. Entah mencari apa nongkrong di perempatan. Menggoda orang yang lewat? Kalau amar ma’ruf nahi mungkar itu harusnya; “Nak ini sudah maghrib ayo ke masjid, masjid sebesar itu kok ndak ada jama’ahnya terus buat apa?” Kalau zaman sekarang dalam suatu komunitas Muslim tidak ada amar ma’ruf nahi mungkar, sama artinya memang di situ tidak ada kasih sayang antar sesama.
Misalnya lagi, sampean ketemu saya, terus melihat di muka saya ada kotoran. “Itu lho Gus ada kotoran?” Kalau belum kenal saya, paling sampean hanya ngomong dalam hati. “Ini orang mana kok punya kumis cuma sebelah, habis main ketoprak lupa di hapus paling?” Tapi kalau sudah kenal saya, otomatis sampean akan menegur, “Maaf Gus, niku sampean tadi ngaca apa ndak ya? Lho memangnya ada apa? Itu lho Gus di wajah sampean ada kotoran.” Masyaallah, terimakasih sudah diingatkan. Ini terjadi karena ada hubungan batin. Orang itu akan malu ketika saya dipermalukan orang. Inilah yang dimaksud ber-amar ma’ruf nahi mungkar.
Kalau tidak kenal saya, pasti orang itu akan diam saja. Apalagi kalau musuh yang melihat, malah dibiarkan saja. Orang itu pasti senang kalau saya dipermalukan orang banyak. Tapi kalau kenal tidak mungkin. Ketika sandal saya terbalik, paling kalau sampean tidak kenal hanya tertawa saja. Tapi kalau sampean kenal pasti diingatkan; “Lho kang sandal sampean terbalik?.” Kalau istri saya beda lagi. Dia langsung bilang; “Mas, niki sandalnya terbalik.” Istri saya khawatir kalau saya terjatuh karena pakai sandal terbalik. Nah, itu karena rasa sayangnya istri kepada suami. Ini baru namanya amar ma’ruf nahi mungkar.
Jadi, kita perlu bersedih kalau dalam satu komunitas tidak ada yang amar ma’ruf nahi mungkar. Ada orang yang sedang kesusahan dibiarkan saja. Ada orang minum-minuman keras dibiarkan saja. Ada orang tidak sholat di biarkan saja. Artinya memang mereka tidak sayang dan tidak mau mengingatkan, tidak mau mengajak. Andaikan mau mengajak itu pahala semua, tapi kok ndak ada yang mau mengajak. Padahal kalau dalam bertetangga misalnya, kita memasak sesuatu pasti tetangga kita akan kita kasih walaupun sedikit. Lha ini dapat pahala yang banyak kok tidak mau mengajak. Itu kan terbalik namanya. Cara berfikir kita sudah terbalik.
Jadi, kita tidak bisa hanya merevolusi mental saja. Semuanya perlu kita kaji ulang lagi, Gusti Allah itu bagaimana, manusia itu bagaimana, orang Islam itu bagaimana, dakwah itu seperti apa, amar ma’ruf nahi mungkar itu kaya apa, dan seterusnya. Ini perlu kita pikirkan dan renungkan supaya nanti jangan-jangan kita sendiri menganggap sudah disukai Allah, tapi yang terjadi justru sebaliknya, Allah murka pada kita. (tertawa ha..ha..ha..). Orang Islam itu ada yang seperti orang kuno, seperti saya ini. Saya dulu nikah langsung orang tua yang mengatur. Wes pokoknya kamu nanti abah nikahkan sama anaknya Pak Haji Basuni dan saya hanya iya saja.
Zaman saya dulu begitu, apalagi yang perempuan, sama sekali tidak diberi tahu. Maka seringkali terjadi hal-hal lucu. Ingin menyenangkan istrinya tapi ternyata si istri tidak senang. Saya belikan istri rok merah yang harganya 500 ribu. Lha kok malah sama istri saya roknya dipakai buat lap sepeda. Ini terjadi karena saya tidak kenal dengan istri saya. Istri saya itu jatuh cinta sebelum melihat saya. Lho sebelum ketemu, tetapi sudah jatuh cinta. Dia di Jogja saya di Mesir, tapi kita sudah dijodohkan sama orang tua.
Saya itu orang kuno, tapi juga agak modern. Jadi saya waktu itu masih membujuk orang tua. Saya ndak apa-apa dijodohkan, tapi mbok saya diperbolehkan surat-suratan sama calon istri saya. Lho mau surat-suratan saja saya harus izin dulu sama orang tua. Zaman sekarang anak-anak kecil sudah boncengan ke sana ke mari, mau dibawa kemana? Saya diberi izin berkirim surat karena saya tinggal di Mesir dan istri saya tinggal di Jogja. Saya surati, memang karena jauh, jadi orang tua tidak khawatir.
Nah, saya itu ahli dalam membuat surat seperti itu. Bahkan, teman saya sampai menikah karena yang membuatkan surat itu saya. Calon istri saya surati, wah...klepek-klepek dia. Biasanya kalau surat-suratan itu yang duluan minta foto yang laki-laki, tapi kalo saya tidak, malah calon istri saya yang minta foto saya terlebih dulu, karena dia membaca surat saya itu sampai tersentuh dan sudah tidak tahan. Orangnya seperti apa kok bahasanya indah seperti ini? (tertawa ha..ha..ha..). Terus saya carikan foto yang paling bagus lalu saya kirimkan ke calon istri saya. Wah tambah klepek-klepek....! Mpun lah pokoke.
Singkat cerita, akhirnya waktu saya pulang terus menikah begitu saja. Nah, mulai awal berumah tangga, dia kepingin membahagiakan saya sebagai kekasihnya. Dia masak banyak sekali, padahal kami Cuma tinggal berdua. Dia masak opor ayam ceritanya. Hanya buat berdua saja, kelapanya (santan) sampai dua buah. Sampean bayangkan kentalnya santan dua kelapa itu seperti apa. Saat disuguhkan saya cuma mencicipi satu sendok saja. Nangis dia, karena masakannya cuma saya makan satu sendok saja. Dia lapor kepada mertuanya, alias ibu saya, “Mas mus itu keterlaluan buk? Ibu saya, “Gimana-gimana pengantin baru kok sudah men-terlalu-kan suami?” Dia jawab; “Niki lho buk, saya buatkan opor ayam, santannya dua kelapa, saya parut sendiri sampai tangan saya luka, resepnya dari majalah Femina buk, lha kok dicicipi cuma satu sendok!”
Ibu saya cuma tertawa; “Lailahailallah.... kamu kok ndak mau tanya-tanya dulu. Suamimu itu paling tidak suka dengan kuah yang ada santannya (tertawa ha ha ha). Lebih baik kamu buatkan sambal jeruk saja nasi satu bakul habis.” Terus istri saya coba buat sambal jeruk. Langsung nasi satu bakul habis, sampai sekarang kalau makan cuma dengan sambel jeruk. (tertawa ha ha ha). Niku cinta yang menggebu-gebu, tapi tidak kenal dengan yang dicintai. Kita ini seringkali cinta menggebu-gebu kepada Allah, tapi sudah benar-benar kenal Allah belum?” Jangan-jangan kita mau menyenangkan Allah, tapi malah Naudzubillah Allah memberi bencana kepada kita.
Sudah sampai di sini saja, sekarang sudah jam 2 (jam 2 malam). Jadi, kita ini jangan sampai lupa berdoa, meskipun kita hebat berdagang, jangan sekali-kali mengandalkan kehebatan berdagang sampai melupakan doa. “Gusti saya dagang, mencari nafkah untuk keluarga, tapi yang memberi rizki panjenengan.” Sampean ahli pendidikan, jangan sampai mengandalkan pendidikan hingga lupa berdoa. Meskipun ahli pemerintahan, wakil bupati ya harus tetap berdoa pada Allah. “Saya ngomong panjang lebar di depan sini, kelihatan sampean dengarkan serius, tapi nanti kalau pulang sudah nonton TV pasti hilang semua”.
Doa itu Ada Dua
Doa itu ada dua; pertama, doa yang hanya untuk ibadah saja, dapat pahala, tapi tidak minta apa-apa. Kedua, doa itu ibadah dan meminta. Kalau sampean saya tanya pasti memilih yang kedua, yang doa ibadah sekaligus meminta. Makanya saya tanya kok malah sampean tertawa. Saya kalau memimpin doa itu pasti selalu mengajak untuk baca Al-Fatihah. Fatihah itu dawuhe Kanjeng Nabi; opo jare seng moco. Dulu zaman Nabi Muhammad ada sahabat yang menjadi dukun dadakan. Ada sahabat yang mampir ke sebuah desa dan ingin meminta makanan. Namun, tidak ada yang menghiraukan. Nah lurahnya sakit. Diobati dukun satu desa tidak ada yang bisa.
Akhirnya, ia bertanya kepada gerombolan orang tadi dan berharap siapa tahu dia punya obat dan bisa menyembuhkannya. Dihampiri sahabat tersebut, tetapi (karena terlanjur merasa diabaikan) sahabat itu jual mahal. “Ndak mau saya mengobati lurahmu, mau kamu kasih apa? mau kamu kasih kambing berapa? 10 kambing baru saya mau mengobati. Salah seorang teman sahabat tadi meneguar; “Kamu jangan ngawur, nanti kalau salah dan tidak diperbolehkan Nabi bagaimana ? Singkat cerita, diberikanlah 10 kambing untuk sahabat dan Lurah itu sembuh setelah dibacakan Fatihah. Ketika kambing mau disembelih, ada sahabat yang merasa ragu dan meminta bertanya kepada Rasulullah terlebih dahulu.
Halal dan tidaknya hambing itu harus ditanyakan kepada Nabi. Lalu, Nabi dawuh, (menurut versi Gus Mus) “Loh sampean kok tahu kalau Fatihah itu bisa digunakan seperti itu dari mana? Saya minta dagingnya?” (tertawa ha ha ha). Berarti suwuk itu halal, ada hadisnya di kitab Bukhari dan Muslim. Mpun....kalau berdoa, saya ajak baca Fatihah 1 kali, tapi iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in dibaca 11 kali. Jangan sampean tanyakan kenapa kok 11 kali. Saya sendiri juga tidak tahu. Saya hanya menerima dari waliyullah guru saya Mbah Munawwir Krapyak.
Mbah Munawwir itu hamilul qur’an. Beliau tidak hanya sebatas hafal Al Qur’an, tetapi semua tindakannya itu mencerminkan Al Qur’an. Jadi doa ini ijazah dari Mbah Munawwir. Saya dulu juga tidak tanya apa dalilnya apa. Saya tidak bisa ndalil, karena yang dalil-dalil itu buat ustadz-ustadz yang baru. Mbun baca Al Fatihah 1 kali dan iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in 11 kali. Saat membaca iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in 11 kali, di dalam hati krentek meminta apa saja yang diinginkan masing-masing.
Aku tak berdoa ya. Biasanya aku kalau datang pengajian itu langsung doa. Apa orang Banguntapan tahu kalau doa saya mandi? (hahahaha). Apa di sini tidak ada kiai yang doanya mandi? Doaku itu mandi, sudah terkenal di Jawa dan Madura... (hahaha, hadirin tertawa seru).
Doa kita semua ini pasti terkabul. Pasti ini. Percaya tidak? (hehehe). Kalau tidak percaya, ada dua kemungkinan. Pertama, sampeyan tidak percaya sama saya. (hahaha, hadirin kembali tertawa seru). Lha ya, kan doaku sudah terkenal mandi. Kedua, Allah itu lebih tahu apa yang kita butuhkan. Bisa jadi yang dikabulkan itu yang memang kita butuhkan. Apa yang kita minta bisa jadi tidak kita butuhkan. Geh mpun, monggo doa bersama. Nanti baca fatihah tadi, terus doa bersama bareng dengan saya..... (hadirin khusyu’ berdoa)
Wassalamu’akaikum warahmatullahi wabarokatuh.
Pengajian Gus Mus di Masjid An-Noer Tegalsari Jomblangan Banguntapan Bantul DIY, 11 Maret 2016.
Doa itu ada dua; pertama, doa yang hanya untuk ibadah saja, dapat pahala, tapi tidak minta apa-apa. Kedua, doa itu ibadah dan meminta. Kalau sampean saya tanya pasti memilih yang kedua, yang doa ibadah sekaligus meminta. Makanya saya tanya kok malah sampean tertawa. Saya kalau memimpin doa itu pasti selalu mengajak untuk baca Al-Fatihah. Fatihah itu dawuhe Kanjeng Nabi; opo jare seng moco. Dulu zaman Nabi Muhammad ada sahabat yang menjadi dukun dadakan. Ada sahabat yang mampir ke sebuah desa dan ingin meminta makanan. Namun, tidak ada yang menghiraukan. Nah lurahnya sakit. Diobati dukun satu desa tidak ada yang bisa.
Akhirnya, ia bertanya kepada gerombolan orang tadi dan berharap siapa tahu dia punya obat dan bisa menyembuhkannya. Dihampiri sahabat tersebut, tetapi (karena terlanjur merasa diabaikan) sahabat itu jual mahal. “Ndak mau saya mengobati lurahmu, mau kamu kasih apa? mau kamu kasih kambing berapa? 10 kambing baru saya mau mengobati. Salah seorang teman sahabat tadi meneguar; “Kamu jangan ngawur, nanti kalau salah dan tidak diperbolehkan Nabi bagaimana ? Singkat cerita, diberikanlah 10 kambing untuk sahabat dan Lurah itu sembuh setelah dibacakan Fatihah. Ketika kambing mau disembelih, ada sahabat yang merasa ragu dan meminta bertanya kepada Rasulullah terlebih dahulu.
Halal dan tidaknya hambing itu harus ditanyakan kepada Nabi. Lalu, Nabi dawuh, (menurut versi Gus Mus) “Loh sampean kok tahu kalau Fatihah itu bisa digunakan seperti itu dari mana? Saya minta dagingnya?” (tertawa ha ha ha). Berarti suwuk itu halal, ada hadisnya di kitab Bukhari dan Muslim. Mpun....kalau berdoa, saya ajak baca Fatihah 1 kali, tapi iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in dibaca 11 kali. Jangan sampean tanyakan kenapa kok 11 kali. Saya sendiri juga tidak tahu. Saya hanya menerima dari waliyullah guru saya Mbah Munawwir Krapyak.
Mbah Munawwir itu hamilul qur’an. Beliau tidak hanya sebatas hafal Al Qur’an, tetapi semua tindakannya itu mencerminkan Al Qur’an. Jadi doa ini ijazah dari Mbah Munawwir. Saya dulu juga tidak tanya apa dalilnya apa. Saya tidak bisa ndalil, karena yang dalil-dalil itu buat ustadz-ustadz yang baru. Mbun baca Al Fatihah 1 kali dan iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in 11 kali. Saat membaca iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in 11 kali, di dalam hati krentek meminta apa saja yang diinginkan masing-masing.
Aku tak berdoa ya. Biasanya aku kalau datang pengajian itu langsung doa. Apa orang Banguntapan tahu kalau doa saya mandi? (hahahaha). Apa di sini tidak ada kiai yang doanya mandi? Doaku itu mandi, sudah terkenal di Jawa dan Madura... (hahaha, hadirin tertawa seru).
Doa kita semua ini pasti terkabul. Pasti ini. Percaya tidak? (hehehe). Kalau tidak percaya, ada dua kemungkinan. Pertama, sampeyan tidak percaya sama saya. (hahaha, hadirin kembali tertawa seru). Lha ya, kan doaku sudah terkenal mandi. Kedua, Allah itu lebih tahu apa yang kita butuhkan. Bisa jadi yang dikabulkan itu yang memang kita butuhkan. Apa yang kita minta bisa jadi tidak kita butuhkan. Geh mpun, monggo doa bersama. Nanti baca fatihah tadi, terus doa bersama bareng dengan saya..... (hadirin khusyu’ berdoa)
Wassalamu’akaikum warahmatullahi wabarokatuh.
Pengajian Gus Mus di Masjid An-Noer Tegalsari Jomblangan Banguntapan Bantul DIY, 11 Maret 2016.
sumber: majalah bangkit nu diy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar