Walaupun ada orang yang bilang kalau ulang tahun tak seharusnya dirayakan karena konon katanya:
1. tak ada petunjuk ataupun contohnya di jaman rasul alias bid'ah
2. justru harus diratapi karena itu berarti berkurangnya jatah umur
3. semestinya setiap hari harus dirayakan
4. sebenarnya tiap hari sama saja, mau ultah atau tidak
5. dan lain-lain
namun aku seringnya tetap merayakan ulang tahunku dengan cara sederhana setiap tahunnya.
Kadang hanya dengan bawa jajanan kecil dan permen-permen untuk dibagikan dengan teman-teman sekelas dan sesama pengurus OSIS atau ROHIS yang sedang datang rapat atau hanya berkumpul duduk-duduk di sekretariatan pada hari itu.
Ada beberapa yang sangat berkesan, salah satu di antaranya adalah ulang tahun paling membahagiakan yang kudapatkan pada usiaku dua puluh lima tahun. Aku dan suami yang menikah maret tahun itu akhirnya berkesempatan honeymoon persis sebelum, pas hari H dan sesudah hari ulang tahunku.
Adalah habib luthfi pekalongan serta seputaran dunia pertasawufan, persufian, perhadrohan, perhabiban dan juga magnit traveling yang menjadi pengikat antara aku dan suami yang waktu itu dijodohkan.
Karenanya ketika ada tawaran dari suami untuk kami berangkat bersama-sama jamaah maulid Habib Hasan ke acara haulnya keluarga habib Hasan di Jakarta, aku langsung mengiyakan.
Berangkatlah kami dengan beberapa mobil ke Jakarta beberapa hari sebelum ultahku. Kami langsung disambut hangat oleh keluarga Habib Hasan di Jakarta. Selain mengikuti acara haul, kami juga silaturahim ke beberapa kerabat dan sanak keluarga beliau yang lain di beberapa rumah yang berbeda. Sungguh pengalaman yang baru buatku karena bisa sedekat itu dengan keluarga habaib.
Selepas dari acara haul dan silaturahim, rombongan pun bergerak melanjutkan perjalanan ke masjid keramat luar Batang. Terutama di tempat yang kelihatannya kacau balau alias tak teratur ini justru juga menggoreskan kesan tersendiri. Makanya ketika ada kisruh luar batang mau digusur itu rasanya sediiiiih banget.
Masjid Luar Batang ada di tengah kampung padat permukiman buruh dermaga dan nelayan di Penjaringan. Berada di antara gang sempit, sekitar 300 meter dari jalan utama Pasar Ikan, yang jelas, masjid ini mampu menjadi pelindung dari hawa panas musim kemarau di Jakarta Utara.
Masjid Luar Batang tergolong masjid tua di Jakarta. Konon, masjid ini dibangun pada 1732 oleh Alhabib Husein bin Abubakar bin Abdillah Al 'Aydrus. Ia tiba di Pelabuhan Sunda Kelapa, Batavia, dari Hadramaut, Yaman, ketika wilayah Luar Batang masih berupa rawa-rawa.
Luar Batang sebenarnya julukan bagi sang Habib. Cerita turun-temurun menyebutkan, ketika ia wafat (1756), Belanda melarang jenazahnya dimakamkan di daerah itu. Para pendatang harus dimakamkan di Tanah Abang.
Hanya, ketika diusung dengan kurung batang (keranda dari bambu), para pengikutnya menemukan jenazah Habib Husein tak ikut serta. Sebaliknya, jenazah malah didapati kembali ke kediamannya, tak jauh dari masjid.
Kejadian itu berulang tiga kali hingga para pengikutnya bermufakat untuk memakamkan di tempatnya sekarang, di sisi kanan Masjid Luar Batang.
Kini, hampir tiga abad berlalu, sisa bangunan asli memang sudah tak tampak lagi. Seluruh bangunan sudah dirombak total pada 1992. Kubah masjid yang semula berbentuk bawang diganti dengan kubah joglo.
Sebanyak 12 tiang utama dari kayu juga dibongkar dan diganti dengan pilar beton. Sementara itu, lantai kayu dan ubin sudah diganti dengan keramik dan batu granit. Selain itu, masjid kini memiliki sejumlah kamar untuk para peziarah ataupun musafir yang datang atau singgah.
Sekitar 200 orang berkumpul untuk berbuka bersama tiap Ramadan. Merupakan bagian lain dari tradisi yang dijaga di masjid itu. Menyantap takjil memang tak dibutuhkan waktu lebih dari 15 menit. Namun menantikan dan menikmatinya telah menghadirkan kebersamaan bagi mereka yang hadir di sana.
Menjelang Ramadan jumlah peziarah yang datang banyak sekali. Mereka datang dari berbagai kota di seluruh Indonesia, bahkan hingga mancanegara. Waktu itu sampai orang dari Belanda ziarah kesini.
Berbicara mengenai sejarah Masjid Luar Batang ini memang sedikit membingungkan. Sebab, banyak cerita berbeda yang keluar dari berbagai sumber.
Masjid Luar Batang ada di tengah kampung padat permukiman buruh dermaga dan nelayan di Penjaringan. Berada di antara gang sempit, sekitar 300 meter dari jalan utama Pasar Ikan, yang jelas, masjid ini mampu menjadi pelindung dari hawa panas musim kemarau di Jakarta Utara.
Masjid Luar Batang tergolong masjid tua di Jakarta. Konon, masjid ini dibangun pada 1732 oleh Alhabib Husein bin Abubakar bin Abdillah Al 'Aydrus. Ia tiba di Pelabuhan Sunda Kelapa, Batavia, dari Hadramaut, Yaman, ketika wilayah Luar Batang masih berupa rawa-rawa.
Luar Batang sebenarnya julukan bagi sang Habib. Cerita turun-temurun menyebutkan, ketika ia wafat (1756), Belanda melarang jenazahnya dimakamkan di daerah itu. Para pendatang harus dimakamkan di Tanah Abang.
Hanya, ketika diusung dengan kurung batang (keranda dari bambu), para pengikutnya menemukan jenazah Habib Husein tak ikut serta. Sebaliknya, jenazah malah didapati kembali ke kediamannya, tak jauh dari masjid.
Kejadian itu berulang tiga kali hingga para pengikutnya bermufakat untuk memakamkan di tempatnya sekarang, di sisi kanan Masjid Luar Batang.
Kini, hampir tiga abad berlalu, sisa bangunan asli memang sudah tak tampak lagi. Seluruh bangunan sudah dirombak total pada 1992. Kubah masjid yang semula berbentuk bawang diganti dengan kubah joglo.
Sebanyak 12 tiang utama dari kayu juga dibongkar dan diganti dengan pilar beton. Sementara itu, lantai kayu dan ubin sudah diganti dengan keramik dan batu granit. Selain itu, masjid kini memiliki sejumlah kamar untuk para peziarah ataupun musafir yang datang atau singgah.
Sekitar 200 orang berkumpul untuk berbuka bersama tiap Ramadan. Merupakan bagian lain dari tradisi yang dijaga di masjid itu. Menyantap takjil memang tak dibutuhkan waktu lebih dari 15 menit. Namun menantikan dan menikmatinya telah menghadirkan kebersamaan bagi mereka yang hadir di sana.
Menjelang Ramadan jumlah peziarah yang datang banyak sekali. Mereka datang dari berbagai kota di seluruh Indonesia, bahkan hingga mancanegara. Waktu itu sampai orang dari Belanda ziarah kesini.
Berbicara mengenai sejarah Masjid Luar Batang ini memang sedikit membingungkan. Sebab, banyak cerita berbeda yang keluar dari berbagai sumber.
Konon dulu tanah ini kan tanah milik Belanda yang diberikan kepada Habib Hussein.
Seorang turis asal Tionghoa menulis bahwa tahun 1736 dia meninggalkan Kota Batavia dari Sheng Mu Gang atau Pelabuhan Makam Keramat, saat ini dikenal dengan Pelabuhan Sunda Kelapa. Di lokasi tersebut terdapat makam yang dianggap keramat di daerah Pelabuhan Batavia.
Pada 1916, di atas pintu masjid tercatat bahwa gedung masjid selesai digarap pada 20 Murharam 1152 H atau 29 April 1739. Masjid ini kurang berkiblat, sama halnya dengan Masjid Kebon Sirih dan Masjid Cikini.
Oleh karena itu, ada seorang penulis, Abubakar Atjeh, yang menganggap bahwa dulunya ruang masjid ini adalah bekas rumah kediaman orang, kemudian digunakan sebagai mushola atau masjid.
Dari beberapa cerita mengenai masjid tersebut, masih menyisakan pertanyaan-pertanyaan tentang kebenaran yang pasti. Karena cerita asal-usul makam keramat merupakan cerita turun menurun yang datanya masih kurang lengkap. Artinya, sumber-sumber yang mengetahui pasti pada zamannya itu tidak lengkap.
Maka dari itu, pengurus masjid enggan berkomentar mengenai sejarah masjid dan makam keramat tersebut lantaran takut salah memberikan informasi. Terkenalnya masjid dan makam keramat ini dalam nilai sejarah, menjadi faktor utama yang mengundang datangnya peziarah. Dari masa ke masa, masjid ini sudah beberapa kali direnovasi.
Kami semua berziarah, sholat dan berdoa dengan khusyu di sana. Magnet energinya serta aura spiritualnya terasa sangat kental sekali di udara, juga berasa menembus ke jantung dan ulu hati. Tak terasa kami semua menitikkan air mata. Bahkan beberapa teman sesenggukan dengan dahsyatnya.
Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog ulang tahun kelima Warung Blogger
Seorang turis asal Tionghoa menulis bahwa tahun 1736 dia meninggalkan Kota Batavia dari Sheng Mu Gang atau Pelabuhan Makam Keramat, saat ini dikenal dengan Pelabuhan Sunda Kelapa. Di lokasi tersebut terdapat makam yang dianggap keramat di daerah Pelabuhan Batavia.
Pada 1916, di atas pintu masjid tercatat bahwa gedung masjid selesai digarap pada 20 Murharam 1152 H atau 29 April 1739. Masjid ini kurang berkiblat, sama halnya dengan Masjid Kebon Sirih dan Masjid Cikini.
Oleh karena itu, ada seorang penulis, Abubakar Atjeh, yang menganggap bahwa dulunya ruang masjid ini adalah bekas rumah kediaman orang, kemudian digunakan sebagai mushola atau masjid.
Dari beberapa cerita mengenai masjid tersebut, masih menyisakan pertanyaan-pertanyaan tentang kebenaran yang pasti. Karena cerita asal-usul makam keramat merupakan cerita turun menurun yang datanya masih kurang lengkap. Artinya, sumber-sumber yang mengetahui pasti pada zamannya itu tidak lengkap.
Maka dari itu, pengurus masjid enggan berkomentar mengenai sejarah masjid dan makam keramat tersebut lantaran takut salah memberikan informasi. Terkenalnya masjid dan makam keramat ini dalam nilai sejarah, menjadi faktor utama yang mengundang datangnya peziarah. Dari masa ke masa, masjid ini sudah beberapa kali direnovasi.
Kami semua berziarah, sholat dan berdoa dengan khusyu di sana. Magnet energinya serta aura spiritualnya terasa sangat kental sekali di udara, juga berasa menembus ke jantung dan ulu hati. Tak terasa kami semua menitikkan air mata. Bahkan beberapa teman sesenggukan dengan dahsyatnya.
Ketika teman-teman jamaah maulid balik ke Semarang, kami sengaja memisahkan diri karena ingin melanjutkan jalan-jalan hanya berdua saja. Kami singgah di rumah paman kami di Jakarta, dan beliau mengantar kami berjalan-jalan di kantornya, juga wisata kulineran serta wisata belanja di mall. Halagh :D
Kami kembali ke Semarang dengan cinta yang makin bertambah-tambah dan bekal keakraban yang kami jalin selama honeymoon yang jatuh pada hari ultahku.
Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog ulang tahun kelima Warung Blogger
foto dan sejarah masjid luar batang dari berbagai sumber di internet
wisata religi sekaligus honeymoon di hari ulangtahun
BalasHapussubhanallahh... hhee
iya, mbak. Alhamdulillah. makasih yaaa :)
HapusAh kita sama kak, meskipun banyak larangan atau mitos atau apalah, aku pun selalu punya cara untuk merayakan ultahku hahahhaa. Keren kak! Oh ya, makasih sudah berpartisipasi dalam lomba ini :)
BalasHapusterima kasih kembali :)
HapusSelain seru baca kisahnya, nambah pengetahuan juga baca postingan ini, Mbak Dian 😊
BalasHapusasyiiik, terima kasih ya :)
Hapus